Sebuah
mobil melaju kencang di jalanan yang tertutup salju.Sambil sesekali menyesap
kopi panas yang dibelinya di minimarket terdekat tadi, Dane berkonsentrasi
mengarahkan mobilnya melumcur menjauhi Picton menuju Takaka, atau biasa juga
disebut Golden Bay, menyusuri jalan 2 jalur yang licin dan dibatasi oleh
jurang. Butiran salju menerpa kaca mobil yang ia kendarai. Di sampingnya,
tertidur seorang perempuan, berselimutkan jaket tebal berwarna coklat.Sera,
nama perempuan itu, adik satu-satunya yang ia sayangi. Rambut sebahunya
terurai, menutupi sebagian wajah campuran Australia-Chinese itu. Jalanan
semakin gelap, tidak ada penerangan dari pinggir jalan. Dane mulai ragu,
jalanan semakin sepi. Tidak ada tanda-tanda mereka akan sampai dalam waktu
dekat.Bahkan GPS pun tidak membantu karena hilang sinyal akibat salju. Dane
menduga, mereka tersasar dari jalur. Sialan, pikirnya. Jarum pendek pada jam
tangan Dane hampir mendekati angka sebelas.
“Belum
sampai juga, kak?”
“Belum,
sepertinya kita tersesat. Jalanan sangat sepi”
“Kak,
disana ada mansion sepertinya. Mungkin kita bisa menumpang di sana” ucap Sera
sembari menunjuk sebuah mansion bergaya Eropa. Mansion itu tertutup pohon-pohon
cemara, sehingga tak terlalu tampak dari jalan. Untungnya mata Sera jeli menangkap
sekilas cahaya dari salah satu jendela mansion tersebut. Sembari melihat arah
yang ditunjuk Sera, Dane menggerakkan mobilnya masuk menuju mansion. Mereka
berdua kemudian turun dari mobil dan mengetuk pintu kayu jati berwarna putih berukir.
Sesaat kemudian, muncul seorang wanita muda berpakaian pelayan. Mungkin masih
berumur 20-an, terka Dane dalam hati.
“Ada
yang bisa saya bantu?” kata pelayan perempuan tersebut.
:Kami
sedang dalam perjalanan menuju Takaka, tapi sepertinya kami tersesat. Bolehkah
kami menginap di sini semalam saja?” jawab Sera.
“Takaka?
Perjalanan kalian sudah tidak terlalu jauh lagi, tetapi berbahaya menyetir
tengah malam saat salju seperti ini. Masuklah, aku akan minya ijin pada kepala
pelayan dan menyiapkan kamar untuk kalian”.
Mereka
berdua pun masuk ke dalam mansion tersebut. Sebuah lampu gantung menyinari
ruangan setinggi empat meter bermotif art
nouveau berupa kurva halus yang terinspirasi dari keindahan flora dan
fauna. Dari atas, terlihat seorang pelayan-kali ini laki-laki- memanggil mereka
untuk naik ke kamar yang telah disiapkan.
“Siapa
orang-orang ini? Kenapa kau ijinkan mereka masuk?” Seorang pria gendut paruh
baya muncul dari sebuah ruangan. Rambutnya beruban semua, sorot matanya tajam
menatap tamu-tamu tak diundang di mansionnya.
“Mereka
sedang dalam perjalanan menuju Takaka dan mere tersesat, Tuan” jawab pelayan
lelaki itu.
“Huh, mengganggu saja” gumam pria
gendut itu lalu masuk kembali ke dalam ruangannya.
“Apakah
dia pemilik mansion ini?” tanya Sera.
“Ya,
dia Tuan James. Perkenalkan, aku Steven, pelayan perempuan tadi adalah Anna,
dan kepala pelayan itu, namanya Andrew. Aku dan Anna sudah bekerja hampir dua
tahun di isini, sedangkan Andrew....dia bekerja di sini puluhan tahun lamanya”
terang Steven.
“Oh
begitu. Baiklah, terima kasih Steven, selamat malam” ucap Dane, lalu masuk
menuju kamar mereka, diikuti oleh Sera, mengistirahatkan tubuh mereka yang
sudah kelelahan.
“Pagi
Sera, tidurmu nyenyak?” tanya Dane pada Sera yang masih mengucek mata sambil
menguap keesokan paginya.
“Lumayan.
Bagaimana dengan—“ suara Sera tercekat, terhenti karena tiba-tiba terdengan
jeritan keras dari ruang kerja Tuan James. Sontak, mereka berdua berlari menuju
sumber suara tersebut.
“Apa
yang terjadi?” tanya Dane. Namun, tanpa perlu dijawab, apa yang ia lihat
selanjutnya sudah menjadi jawabannya. Tuan James, terduduk tak bernyawa di
balkon ruang kerjanya, dengan luka menganga di sekujur tubuhnya. Anehnya,
walaupun sekilas seperti luka tikaman, namun luka tersebut berbentuk bulat.
Sementara, Anna hanya terpaku memandangi tuannya dari dalam ruangan. Sedikit
salju tertiup ke arahnya dari luar. “Ada apa ini? Ruangan ini diobrak abrik,
sepertinya pelaku mencari sesuatu” batin Dane. Tiba-tiba suara Steven terdengar
dari arah lain. “Andrew! Lukisan Tuan James hilang!”
“Lukisan
hilang? Kemungkinan besar kasus ini bermotif harta” lanjut Dane dalam hati.
Kemudian, ia keluar menghampiri Steven. “Steve, siapa saja yang memiliki akses
menuju ruang Tuang James dan ruang lukisan?”
“Hanya
Tuan James sendiri dan Andrew, sir” jawab Steven.
“Hmmm...hanya
mereka berdua? Sdi mana kalian semua berada pada saat kejadian?”
“Kami
semua di kamar masing-masing. Namun, aku mendengar suara pintu kamar Andrew
sepmat terbuka tadi malam”, jawab Anna dengan tatapan menuduh pada Andrew.
“Enak
saja! Aku hanya keluar ke toilet. Memangnya kau sendiri ke mana?” jawab Andrew
sambil menahan emosi.
“Aku di
kamar terus. Bukankah kau yang membunuh Tuan James? Kau sudah bekerja padanya
puluhan tahun, tentu kau tahu lebih banyak dari kami seberapa kayanya dia! Kau
membunuhnya demi hartanya, kan! Sir, mungkin kau haru memeriksa kamar Andrew! Pasti
lukisan itu tersembunyi di sana!” isak Anna tertahan, memandangi mereka semua
dengan tatapan nanar.
“Sera,
coba cek kamar Andrew”, perintah Dane. Sera menurut, lalu masuk ke kamar
Andrew. Sejenak kemudian, terdengar teriakan Sera. “Ada tiga lukisan di bawah
tempat tidur Andrew! Benarkah ini lukisan yang kamu maksud?” Anna lalu
mengikuti Sera masuk ke kamar Andrew, diikuti yang lain. “Ya, benar! Ini
lukisan Tuan James yang hilang!” jawab Anna.
“Pembohong!
Aku tidak mencurinya!” bantah Andrew. Tetapi, Dane menyahut. “Andrew, semua
bukti mengarah jelas padamu. Kami akan menyerahkanmu ke polisi, tak lama lagi
mereka akan datang”. Dan benar saja, sesaat kemudian polisi datang, lalu
membawa pergi Andrew yang masih terus-menerus membantah.
“Anna,
Steve, kalian sekarang aman. Beristirahatlah dahulu”, kata Dane. Mereka berdua
pun mengangguk, dengan Steven merangkul Anna yang masih sesenggukan. Kentara
sekali kalau Anna sangat menyayangi Tuan James. Baginya, James sudah seperti
ayahnya sendiri.
“Ayo, kita istirahat juga”, ajak
Dane pada Sera. Sera mengangguk, lalu masuk ke kamar.
Malamnya,
terdengar suara ruang kerja Tuan James dibuka perlahan. Terdengar suara langkah
mengendap-endap masuk.
“Mebereskan
sisa perbuatanmu, Anna?” terdengar suara Sera dari arah pintu secara tiba-tiba,
mengejutkan orang yang sedang merapikan ruangan itu-kelihatannya.
“A-apa
yang kau bicarakan? Aku hanya merapikan ruangan ini”, ucap Anna.
“Jangan bodoh. Pada awalanya aku memang tertipu dengan
sandiwaramu. Tetapi semua menjadi mencurigakan saat aku mengetahui apa
sebenarnya senjata pembunuhnya, yang meyakinkanku bahwa Andrew bukanlah
pembunuhnya. Kita terlalu fokus pada motif harta, sampai-sampai aku nyaris
melewatkan hal sepele—amat sepele”.
“Lalu?
Hal sepele apa itu?”
“Musim
dingin. Es”, jawab Sera penuh keyakinan.
“Andrew
sudah lanjut usia. Tangannya tak akan mampu memegang senjata pembunuhnya, ya,
senjatanya ialah es yang sudah diruncingkan. Karena itu, kita tidak dapat
menemukan senjata pembunuhnya karena sudah keburu meleleh terkena suhu panas
tubuh Tuan James. Selain itu, tubuhnya menunjukkan gejala rigor mortis—kaku mayat, yang berarti ia meninggal belum 12 jam
saat ditemukan”, lanjut Sera.
“Tapi
aku sudah bilang kalau aku mendengar suara pintu kamar Andrew terbuka!” Anna
membantah.
“Bagaimana
kau tahu kalau Andrew yang keluar? Kamar Steven dan Andrew berdekatan, tidak
akan tampak perbedaannya pintu kamar siapa yang dibuka—kecuali kau melihatnya
sendiri, lalu masuk dan mencuri kunci menuju raung lukisan. Sementara kau
membunuh James, partnermu-lah yang bertugas mencuri lukisan-lukisan itu—atau mungkin
yang kita kenal dengan nama Steve, saudara kembarmu sendiri?” ujar Sera sambil
melirik orang yang sedari tadi diam-diam berdiri di belakang Anna dalam
kegelapan. Steven.
“Kami
telah meminta polisi untuk menyelidiki, dan hasilnya, kalian berdua—secara mengejutkan,
memiliki DNA yang sama dengan Tuan James. James pernah menikah, namun cerai
karena ia ketahuan selingkuh dengan pelayannya sendiri—ibu kalian. Takut nama
baiknya rusak, James membunuh pelayan itu saat ia hamil 7 bulan. Namun, ada
satu hal yang ridak ia ketahui; anak-anak dalam kandungannya dapat
diselamatkan, walaupun kritis. James tidak mencurigai kalau kalian kembar,
karena kalian adalah kembar fraternal—non indentik, dan bahwa kalian adalah
anak kandungnya sendiri” ucap Dane, membongkar semua fakta –dan masa lalu—yang mereka
temukan.
Terdiam
sejenak, Anna kemudian jatuh pada lututnya. “Baiklah, aku menyerah. Kalian
menang”, lalu diikuti Steven yang juga ikut berlutut. Terdengar raungan sirene
mendekat.
“Kalu
boleh tahu, kenapa kalian membunuh ayah kalian sendiri?” tanya Sera saat mereka
akan dibawa oleh polisi.
“Kami hanya ingin satu hal
sederhana; keluarga yang utuh. Dan ia telah merebutnya dari kami”, jawab Anna
yang tersenyum misterius. Perlahan, suara sirene memecah keheningan malam.